WAJAH TUNGGAL COVID DI DESA
Sejujurnya saya merasa janggal, strategi antisipasi wabah covid di desa menjadi sangat seragam. Jika disimpulkan bermuara pada larangan mudik, Posko, penyemprotan, jps, dan masker. Memusat diruang antisipasi.
Malah kalo dicermati menjadi overlapping. Saling tumpang tindih. Ada beberapa desa malah terlampau jauh memasuki wilayah kerja medis.
Dalam wawasan mitigasi kebencanaan apakah dampak sebuah bencana juga seragam ? Tentu tidak. Urban kota, desa, pesisir, pegunungan dan hutan tentu menerima efek yang berbeda beda.
Beberapa hari ini, Pemerintah Desa kami mendapat banyak kritik. Hanya karena tidak banyak mempublish Covid - 19. Tapi justru banyak memaparkan kegiatan pertanian. Mulai dari membangun kebun sayur berbasis warga desa, penanggulangan hama, perbaikan irigasi, panen dan persiapan lahan tani di Musim Tanam ke 2. Dimana belum banyak desa menyentuh itu.
Perlu diketahui, desa kami dimana saya mendapatkan mandat adalah lumbung supplai padi yang cukup besar. Hampir 2/3 wilayah desa adalah lahan sawah yang terkenal kesuburannya.
Sehingga dalam analisa sederhana, mempertahankan suplai padi adalah bentuk kommitmen desa kami. Itu juga bagian terpenting dari mitigasi kebencanaan.
Bayangkan jika kami membombardir petani dengan wajah covid yang mengerikan? Petani sampai takut memanen padi dan menanam padi. Bukankah itu juga membawa kehancuran.
Perut orang kota, kaum ningrat, birokrat memang siapa yang mengisi? Apakah beras dan nasi di meja makan hasil cetakan pabrik. Itu hasil lahir batin para petani di perdesaan liik. Yang pikirannya harus temata, tindakannya temanja dan hatinya menggenang tenang.
Ada beberapa pengajian yang kami negosiasi untuk dibatalkan. Sales dan warga asing luar juga kami dudukkan untuk tidak masuk. Beberapa pesta pernikahan yang kami negosiasi untuk di tiadakan. Namun itu tidak kami publikasi. Sebab apa guna menyakiti sebuah hati dan degup harapan baik orang lain.
Jelas, desa kami berkommitmen melawan covid. Pelaporan berjalan dinamis. Namun setiap desa punya sebuah titik fokus yang berbeda. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Dimana angin bertiup, kami mendakinya. Seperti layang layang yang diterbangkan anak kecil di musim kemarau yang panjang.
Waspada dan pengati -ati wajib, hanya saja jangan mentransfer ketakutan berlebih pada para petani di desa. Sebentar lagi semua kementerian akan berkontestasi kebijakan di desa. Dengan judul berbeda beda, juknis yang makin banyak. Desa akan kehilangan arah.
Desa, lembaga, komunitas panjenengan tentu punya skema kegiatan yang lebih khas berbasis unikumnya. Sumangga diwedar bersama.
( SABIT BANANI )
Sejujurnya saya merasa janggal, strategi antisipasi wabah covid di desa menjadi sangat seragam. Jika disimpulkan bermuara pada larangan mudik, Posko, penyemprotan, jps, dan masker. Memusat diruang antisipasi.
Malah kalo dicermati menjadi overlapping. Saling tumpang tindih. Ada beberapa desa malah terlampau jauh memasuki wilayah kerja medis.
Dalam wawasan mitigasi kebencanaan apakah dampak sebuah bencana juga seragam ? Tentu tidak. Urban kota, desa, pesisir, pegunungan dan hutan tentu menerima efek yang berbeda beda.
Beberapa hari ini, Pemerintah Desa kami mendapat banyak kritik. Hanya karena tidak banyak mempublish Covid - 19. Tapi justru banyak memaparkan kegiatan pertanian. Mulai dari membangun kebun sayur berbasis warga desa, penanggulangan hama, perbaikan irigasi, panen dan persiapan lahan tani di Musim Tanam ke 2. Dimana belum banyak desa menyentuh itu.
Perlu diketahui, desa kami dimana saya mendapatkan mandat adalah lumbung supplai padi yang cukup besar. Hampir 2/3 wilayah desa adalah lahan sawah yang terkenal kesuburannya.
Sehingga dalam analisa sederhana, mempertahankan suplai padi adalah bentuk kommitmen desa kami. Itu juga bagian terpenting dari mitigasi kebencanaan.
Bayangkan jika kami membombardir petani dengan wajah covid yang mengerikan? Petani sampai takut memanen padi dan menanam padi. Bukankah itu juga membawa kehancuran.
Perut orang kota, kaum ningrat, birokrat memang siapa yang mengisi? Apakah beras dan nasi di meja makan hasil cetakan pabrik. Itu hasil lahir batin para petani di perdesaan liik. Yang pikirannya harus temata, tindakannya temanja dan hatinya menggenang tenang.
Ada beberapa pengajian yang kami negosiasi untuk dibatalkan. Sales dan warga asing luar juga kami dudukkan untuk tidak masuk. Beberapa pesta pernikahan yang kami negosiasi untuk di tiadakan. Namun itu tidak kami publikasi. Sebab apa guna menyakiti sebuah hati dan degup harapan baik orang lain.
Jelas, desa kami berkommitmen melawan covid. Pelaporan berjalan dinamis. Namun setiap desa punya sebuah titik fokus yang berbeda. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Dimana angin bertiup, kami mendakinya. Seperti layang layang yang diterbangkan anak kecil di musim kemarau yang panjang.
Waspada dan pengati -ati wajib, hanya saja jangan mentransfer ketakutan berlebih pada para petani di desa. Sebentar lagi semua kementerian akan berkontestasi kebijakan di desa. Dengan judul berbeda beda, juknis yang makin banyak. Desa akan kehilangan arah.
Desa, lembaga, komunitas panjenengan tentu punya skema kegiatan yang lebih khas berbasis unikumnya. Sumangga diwedar bersama.
( SABIT BANANI )